Pertama kali kamu mengucapkan kalimat ringkas itu, aku cuma bisa melongo. Betapa tidak, kita sudah dekat lebih dari dua tahun. Kita bertemu sedikitnya 10 jam seminggu pada jam kerja, kecuali kamu sedang menghabiskan berpuluh-puluh jam di luar negeri di mana aku tidak harus mengurusi kalian. Weekend pun kita lalui bersama, dari mulai nonton film kesukaanku di bioskop sampai main ke sport center terdekat. Berapa kali aja aku main ke rumah ayahmu untuk membicarakan dirimu dengan kedua orangtuamu. Aku kenal kamu luar dalam, bahkan hal-hal yang nggak kamu sadari ada dalam dirimu pun aku tau.
Tapi yang membuatku melongo pertama adalah, berapa kali sudah aku mengatakan bahwa nggak akan pernah ada hubungan khusus di antara aku dan kalian yang ada di tanganku. Kode etik lah, biasa. Sesama artis aja kalian nggak boleh menjalin hubungan asmara kan? Apalagi dengan profesi khusus sepertiku.
Hal kedua yang membuatku terheran adalah, lalu kau anggap apa kita keluar bareng di luar acara kantor itu? Pergi ke bioskop itu? Makan bareng itu? Belanja? Ah tunggu, memang semuanya bisa melakukan itu tanpa harus menjalin hubungan khusus. Dua orang cewek yang sedang memperebutkan hati seorang pangeran yang sama aja bisa belanja sampai nyalon bareng.
"Ah, jangan salah sangka dulu! Maksudku... eh, aku nggak maksa kok. Uuh, kamu... boleh nolak kalau nggak suka aku atau... eeeh..."
Kegugupanmu membuatku makin heran. Seolah jika kujawab dengan "Hey, kamu kan sudah aku anggap sebagai kakak sendiri" itu malah akan membuatmu mematung dan kemudian hancur berkeping-keping. Maka dari itu, aku tetap terdiam dan mengedip-ngedipkan mata, mencoba memproses.
Melihatku diam, kamu juga terdiam. Menunduk kemudian terduduk lunglai di depanku.
Kupegang tanganmu dan kucari wajahmu. Kuberikan senyum yang entah mengekspresikan apa. Namun tak ada sepatah katapun bisa kukeluarkan. Dan kita tak pernah membahas hal itu lagi di kemudian hari.
―☆―
Satu tahun sudah berlalu.
Dua bulan lalu kamu kembali menemuiku, mengatakan hal yang sama. Sekali lagi membuatku ternganga. Kamu nggak ada capeknya ya, mengatakan hal yang sama. Betapa sabarnya.
Tapi tetap saja aku menerimamu.
Aku tak bisa mengingkari perasaan bahwa sejak mulai mengenalmu di bulan kedua setelah pertemuan pertamaku dengan kalian, aku mulai merasakan ketertarikan. Yang awalnya hanya karena kamu berbeda, sampai kemudian aku sadar perasaan inilah yang berbeda.
Lagipula 5 bulan setelah kamu mengatakan hal yang sama, kontrak kerjaku dengan kalian habis. Dan aku juga sudah mempunyai "anak asuh" baru. Dengan kata lain, hubungan "lebih jauh" kita tak akan lagi menjadi terlarang. Dan kau pun sudah tak banyak menghabiskan waktu di luar Jepang. Pun kalau iya, aku bisa mengatasinya dengan kesibukanku yang segudang.
Walaupun kegiatan kita nggak beda jauh juga dari sebelum kau mengatakan kalimat itu. Kau hanya akan mengejutkanku dengan buket bunga ukuran raksasa yang tiba-tiba ada di meja makan apartemenku, lengkap dengan semangkuk tom yam kung buatanmu. Atau mengirimiku cake besar yang ujung-ujungnya aku bagikan kepada seluruh teman sekantor karena nggak bakal kuat ngabisin sendiri. Kau akan mengajakku jalan ke game center, menuju UFO catcher dan bersikeras mendapatkan boneka dari sana untuk diberikan padaku.
"Udah deh, nggak usah. Pindah ke tempat lain aja yuk"
"Duh sekali lagi deh. Gemes nih."
"Tapi kamu udah ngabisin 10 koin di sini. Kurasa itu udah bisa dapetin boneka yang sama di toko sebelah"
"Nggak ada usahanya itu... Sekali lagi aja deh. Ya?"
Kau akan memasang muka yang melelehkanku. Aku hanya terdiam sampai kau merasa bahwa itu adalah lampu hijau dan kembali bermain. Hingga kemudian aku pergi begitu saja. Menuju toko sebelah. Dan kau menyusulku tanpa membawa apapun, meninggalkan mesin yang masih menjalankan perintahmu.
Kadang aku menemukan bahwa sifat telaten, sabar dan ngototmu itu bisa jadi menguntungkan. Saat belajar, misalnya. Karena tekun, kamu nggak akan berhenti belajar sampai benar-benar bisa. Di sisi lain bisa jadi merugikan, ya kalau kamu main game beginian misalnya. Karena kamu nggak akan menyerah sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan.
Well, aku akan menunggumu sabar dan telaten saat menghabiskan waktu bersamaku, untuk mempelajariku, sampai akhirnya kalimat ringkas nan saktimu padaku pun berubah menjadi "Nikah yuk!"
Sleman hujan pagi hari
10 Maret 2015; 2.40