Terdengar suara pintu depan terbuka dan lampu menyala semenit kemudian. Ruangan ini menjadi terang. Melangkah cepat, kau lempar tote bag-mu ke lantai berkarpet tebal hingga memuntahkan beberapa isinya dan merebahlah kau ke sofa. Telentang dengan kaki menggantung, kau hela nafasmu panjang.
"Sampai rumah juga. Capek."
Kau lirik aku yang berdiri mematung 4 meter di sisi kirimu. Terdiam, seperti menahan nafas.
"Hai, Tampan."
Kau tunjukkan padaku seringai lebarmu yang disusul gelak tawa tanpa suaramu.
Sejenak, kemudian diam lagi. Kali ini kau pandang langit-langit putih di atasmu.
Entah apa yang ada di pikiranmu.
Tiba-tiba saja kau bergulung ke sisi kiri dan berdiri di depanku. Matamu terbuka lebar, dahimu berkerut, bibirmu mengerucut. Kau pertahankan ekspresimu beberapa saat sebelum kemudian matamu menatap sayu dan helaan nafasmu menerpaku.
"Entah sampai kapan aku harus memasang wajah seperti ini. Di depan fans, staff, kenalan, dan bahkan teman-temanku sendiri." ucapmu lirih, diikuti senyum simpul tertahan. Tersirat kekecewaan terhadap dirimu sendiri dalam suaramu barusan. Kau angkat kedua tanganmu dan kau tempelkan di sisi kedua wajah, lalu kau gerakkan mereka seolah sedang melepas topeng, dan membuangnya.
Yang tersisa adalah cahaya redup di sana.
"Siapa yang benar-benar mengerti aku?"
Aku tak mengerti.
"Wawancara di majalah ini bilang begini, cerita di antara teman-temanku bilang begitu. Aku bahkan tak tahu apa yang sudah, sedang dan akan kukatakan."
Kau menunduk sembari tangan kananmu menempel padaku.
"Sedangkan orang-orang itu... mereka berbicara seolah sudah mengerti aku, apa yang sudah kulalui selama aku hidup!" suaramu kasar, dapat kurasakan suhu tubuhmu meningkat. Kemudian tanganmu mengepal.
"Hah, omong kosong!"
Kau berpaling dariku, membuang nafas dengan berat. Menuju ke seberang ruangan dimana lemari penyimpan makananmu berada. Kau kembali ke sofa dengan membawa sekaleng soda dan kotak kecil. Ah tunggu. Itu bir. Dan... mengapa kau mengambil pemantik di tempat lilin yang berada di sampingmu?
Kau nikmati seseruput sebelum kemudian kau tarik sebentuk silinder ramping berwarna putih yang kau sulut dengan pemantik hadiah penggemarmu ―yang sebenarnya untuk leadermu namun kau ambil karena kau suka.
Bukannya tak pernah tahu kau membiasakan diri dengan nikotin, tapi kau tak pernah mengonsumsinya kecuali benar-benar lelah. Lelah mental.
Matamu menerawang ke sampingku, tembok di mana kau gantungkan kolase memori bersama teman-temanmu dalam pigura-pigura tertata. Asap dari bibir mungilmu menghilang perlahan seperti senyum ceriamu yang memudar beberapa hari belakangan. Kau bangun dan menghampiri mereka, yang tadinya hanya kau amati dari sofa.
"Bahkan wanita-wanita cantik berambut emas bermata indah ini pun... tak sanggup mengusir kesendirianku. Tak mampu memahami isi pikiranku." Kau tersenyum sinis, kemudian berbalik setelah kau dengar bunyi dentingan dari ponselmu yang tergeletak pasrah di atas karpet. Bersimpuh, kau tarikan jemarimu di atas layar dan kembali tersenyum sinis ―yang bahkan bisa kurasakan walau kau membelakangiku.
"Mau apa gadis ini ke sini? Emily, Emily... kukira kau berbeda." Kau biarkan pesan itu begitu saja, tak berbalas. Kau hempaskan lagi badanmu ke sofa, menikmati lagi asap demi asap. Menghisapnya dalam-dalam agar kau dapatkan jumlah besar relaksan yang dalam tujuh detik masuk mencampuri darahmu ke paru-paru, berpacu ke otak dan segera merangsang pelepasan neurotransmiter serta meningkatkan aktivitas serotonin yang berdampak pada efek sedatif ringan. Kau tutup mata rapat di antara kepulan pekat.
Masih tak mengerti dengan masalah yang membebani pikirmu.
"Gadis-gadis itu..." seolah kau mampu membacaku, "... hanya mengejar kelelakianku saja. Membosankan. Tak adakah wanita yang benar-benar ingin berbagi perasaan denganku? Bukan hanya berbagi materi dan nafsu." Kau benamkan rokok yang sudah terbakar separuh keras-keras ke dalam asbak di bawah tempatmu duduk. Seringaimu menunjukkan amarah. Kemudian kau lempar punggungmu ke sandaran. Menatap langit-langit, lagi.
Kali ini, dapat kulihat pantulan cahaya di matamu yang berkaca-kaca. Namun tak kulihat air mata. Hanya sebuah senyum yang kaupaksakan ikhlas. Seperti senyum yang kauberikan di pagi hari kepada gadis-gadis yang kau ajak bermalam di apartemen ini.
Tak akan pernah mampu memahami jiwamu yang langka itu, walau aku mengetahui rahasia terdalammu. Tak akan sanggup menyelami kedalaman pikiranmu, walau aku mengawasi setiap milidetik lakumu. Tak dapat kubayangkan para penggemarmu, gadis-gadis pencintamu, seandainya mereka tahu lelaki pujaannya merasa begini tersiksa di saat hatinya hampa, hahaha... bahkan mereka tak pernah tahu kau bisa merasakannya juga. Mungkin, mereka malah tak mau peduli. Hanya aku di sini. Tapi yang kau butuhkan hanyalah harapan : bertemu seseorang yang dapat mengisi kekosongan itu. Suatu hari nanti, entah siapa...
Bukankah begitu?
Lelah kau menengadah, kau pejamkan mata sejenak, membiarkan tetes air mata membuncah mengaliri wajah sebelum meraih pemutar musik di sisi sofa.
"When I was a child everybody smiled, nobody knows me at all
Very late at night and in the morning light, nobody knows me at all
Now I got lots of friends, yes, but then again,
nobody knows me at all"
Berbaring kau, meringkuk membelakangiku. Membiarkan wajahmu terbenam dalam bantal-bantal kecil hingga kudengar deru nafas lembut teraturmu. Selamat tidur.
Catatan penulis :
Seperti biasa, kejadian setengah jam pun bisa kugambarkan dalam 4.400an karakter, 750an kata. Mungkin aku memang terlalu berlebihan. Hahaha~
Ngomong-ngomong, coba tebak ini siapa :3
Sampai ketemu di 3 karakter selanjutnya. (^o^)