Selasa, 07 Oktober 2014

The Other Side (2)

Ruangan ini gelap sekali. Padahal derap langkahmu sudah memenuhi koridor rumah sejak tadi. Kucuran air dan denting logam menggema di kejauhan. Cahaya di sebelah ruangan menyisakan temaram. Setidaknya aku tak lagi sendirian.

Kudengar langkahmu mendekat, memasuki ruangan. Bahkan dalam gelap pun dapat kurasakan.

"Klik."
Suara kecil terdengar diikuti cahaya berpendar. Walaupun hanya sebagian ruang yang diterangi, wajah sempurnamu tak dapat bersembunyi. Kau tarik kursi dan segera duduk di depan meja, tepat di depan sumber cahaya berada. Kau hirup dalam-dalam harum larutan kopi yang tak terlalu pekat dalam cangkir kaca, sebelum menyeruput dan kemudian meletakkannya di atas tatakan. Kau tersenyum, wajahmu menunjukkan kenyamanan. Kacamata yang kau kenakan membuatmu semakin tampan.

Kau raih sebendel kertas berjilid spiral dengan sampul minimalis, "Bahasa Inggris Tingkat Menengah". Dapat kukatakan bahwa akhir-akhir ini kau kecanduan, bukan pada wanita namun pengetahuan. Beberapa minggu lalu kupergoki kau asyik mempelajari psikologi musik. Di lain masa kau belajar percakapan mendasar beberapa bahasa di benua Eropa.

"Lelah aku dibilang bodoh. Apa guna rupawan jika otak pas-pasan? Mungkin belum terlambat untukku mengejar." keluhmu suatu minggu sepulang belanja sambil membawa sekardus buku. Hal yang tak biasa melihat sejumlah bahan bacaan menggantikan tas-tas pakaian.

Dan sejak saat itulah kau meluangkan berjam-jam, bahkan setelah di studio seharian. Tak kenal lelah, kau habiskan malam-malammu membaca hingga semburat fajar mengintip di luar rumah. Matamu pun tak malas menelusuri layar laptop demi memuaskan keingintahuan terhadap dunia luar. Sampai kau tak sadar kantong di bawah matamu kian membesar.

Terasa mengherankan. Bukankah penggemar dan teman-temanmu tak pernah menyoalkan kesalahan yang kau buat karena keterbatasanmu? Bukankah cukup wajahmu, sikapmu yang sedingin es namun pandai merayu, sifatmu yang pekerja keras dan bertanggung jawab untuk hidup? Mendapatkan wanita dengan kepribadianmu itu pun kurasa kau sanggup.

"Malu juga ditertawakan penggemar hanya karena bahasa asingku terdengar paling nggak beraturan." Teringat celetukanmu suatu hari saat kau jelajahi fancam tur Asia Eropa pertama kalian. Tawa yang terpaksa kau lepaskan menemui komentar-komentar 'pedas' dari para penggemar. Mereka mana tahu kau sebenarnya begitu perasa. Namun sejak saat itulah kau tak ingin lagi ditertawakan. Kau putuskan kembali ke balik meja bukan hanya untuk berkarya, namun juga untuk belajar.

Bibirmu bergerak-gerak sambil sesekali menyuarakan beberapa kata bahasa Inggris. Meja yang berdecit teratur namun ringan menandakan kakimu yang tak bisa tenang. Kau gariskan pewarna di beberapa kalimat dan membuat catatan. Sesekali kau benahi kacamata berbingkai tebalmu, ataupun merasakan beberapa teguk kopi untuk membuatmu tetap terjaga. Kau pancarkan aura serius yang kurasa tak semua orang tahu. Well, kaulah pria misterius yang tak membiarkan seorang wanita pun bermalam di rumahmu.

Beberapa jam telah berjalan. Berpuluh halaman telah kau tuntaskan. Melepas kacamata, kau pijat area di antara kedua alismu ringan sambil menutup mata. Tak seperti kedua temanmu yang terbiasa menghabiskan waktunya di sini seharian membaca novel atau manga, menekuri halaman sebanyak itu dan menjaga perhatian pada bacaan pastilah bukan hal mudah bagimu. Karena itulah kau tak terlalu suka belajar. Namun itulah kau. Sekali motivasi berkembang di dalam diri, pantang berhenti! Walaupun jika terlalu keras, lantas kau berangsur malas.

Beranjak dari kursimu yang empuk, kau berjalan menghampiriku. Kau nyalakan lampu yang berada tepat di atasku, memberikanmu pencahayaan yang cukup hingga aku dapat menikmati keelokan dan kulit bak pualammu. Kau semakin mendekat. Sungguh kau ukiran tanpa cacat.

"Ah, sudah memerah..." ujarmu sambil melebarkan kelopak mata kananmu. Sepasang mata bola yang bagai dibuat dari dua buah bintang di luar angkasa. Kau ambil sebuah wadah mungil dari lemari kayu kecil yang menempel di dinding sampingku, kau isi dengan semacam cairan bening sebagian. Kau tempelkan sejenak di mata dan mundur perlahan hingga menemukan kursimu. Terduduk bersandar beberapa waktu.

Tak lama kemudian kau kembali padaku. Memasukkan kembali wadah ke tempat semula dan mematut-matut berbagai ekspresi wajah aneh di hadapanku, membuatmu tersenyum geli sendiri sebelum mematikan lampu yang sempurna menerangimu.

"Sudah jam tiga ya. Wah, nggak kerasa." Kau kembalikan buku ke tempat kau mengambilnya setelah kau batasi. Berjalan ke dinding seberang dan sejenak berdiri. Mengamati benda yang tak hanya menyekat ruangan, namun juga penuh sejuta impian. Mulai dari wisata alam yang ingin kau datangi, gadis yang ingin kau nikahi hingga efek gitar yang ingin kau beli. Kau usap rak di bawahnya tempatmu menyimpan benda-benda yang kau anggap berharga; kenangan dari orang-orang tercinta, pemberian sahabat maupun hadiah dari penggemar dari seluruh pelosok Bumi. Menyapukan lembut tanganmu di salah satu foto yang tertempel di dinding, kau berkata, "Tak sabar menanti tur besok. See ya... World"

Berjalan pelan kau sambil terkekeh menuju meja tempatmu membaca. Dengan sekali sentuh tanganmu dan ruangan pun gelap.

"Selamat tidur." begitulah kau berucap walau tak ada siapapun yang akan menjawab. Dan bayangan indahmu pun perlahan menjauh...

Selamat tidur.

Senin, 06 Oktober 2014

The Other Side (1)

Terdengar suara pintu depan terbuka dan lampu menyala semenit kemudian. Ruangan ini menjadi terang. Melangkah cepat, kau lempar tote bag-mu ke lantai berkarpet tebal hingga memuntahkan beberapa isinya dan merebahlah kau ke sofa. Telentang dengan kaki menggantung, kau hela nafasmu panjang.

"Sampai rumah juga. Capek."

Kau lirik aku yang berdiri mematung 4 meter di sisi kirimu. Terdiam, seperti menahan nafas.
"Hai, Tampan."
Kau tunjukkan padaku seringai lebarmu yang disusul gelak tawa tanpa suaramu.
Sejenak, kemudian diam lagi. Kali ini kau pandang langit-langit putih di atasmu.

Entah apa yang ada di pikiranmu.

Tiba-tiba saja kau bergulung ke sisi kiri dan berdiri di depanku. Matamu terbuka lebar, dahimu berkerut, bibirmu mengerucut. Kau pertahankan ekspresimu beberapa saat sebelum kemudian matamu menatap sayu dan helaan nafasmu menerpaku.

"Entah sampai kapan aku harus memasang wajah seperti ini. Di depan fans, staff, kenalan, dan bahkan teman-temanku sendiri." ucapmu lirih, diikuti senyum simpul tertahan. Tersirat kekecewaan terhadap dirimu sendiri dalam suaramu barusan. Kau angkat kedua tanganmu dan kau tempelkan di sisi kedua wajah, lalu kau gerakkan mereka seolah sedang melepas topeng, dan membuangnya.

Yang tersisa adalah cahaya redup di sana.
"Siapa yang benar-benar mengerti aku?"
Aku tak mengerti.

"Wawancara di majalah ini bilang begini, cerita di antara teman-temanku bilang begitu. Aku bahkan tak tahu apa yang sudah, sedang dan akan kukatakan."
Kau menunduk sembari tangan kananmu menempel padaku.
"Sedangkan orang-orang itu... mereka berbicara seolah sudah mengerti aku, apa yang sudah kulalui selama aku hidup!" suaramu kasar, dapat kurasakan suhu tubuhmu meningkat. Kemudian tanganmu mengepal.

"Hah, omong kosong!"
Kau berpaling dariku, membuang nafas dengan berat. Menuju ke seberang ruangan dimana lemari penyimpan makananmu berada. Kau kembali ke sofa dengan membawa sekaleng soda dan kotak kecil. Ah tunggu. Itu bir. Dan... mengapa kau mengambil pemantik di tempat lilin yang berada di sampingmu?

Kau nikmati seseruput sebelum kemudian kau tarik sebentuk silinder ramping berwarna putih yang kau sulut dengan pemantik hadiah penggemarmu ―yang sebenarnya untuk leadermu namun kau ambil karena kau suka.

Bukannya tak pernah tahu kau membiasakan diri dengan nikotin, tapi kau tak pernah mengonsumsinya kecuali benar-benar lelah. Lelah mental.

Matamu menerawang ke sampingku, tembok di mana kau gantungkan kolase memori bersama teman-temanmu dalam pigura-pigura tertata. Asap dari bibir mungilmu menghilang perlahan seperti senyum ceriamu yang memudar beberapa hari belakangan. Kau bangun dan menghampiri mereka, yang tadinya hanya kau amati dari sofa.

"Bahkan wanita-wanita cantik berambut emas bermata indah ini pun... tak sanggup mengusir kesendirianku. Tak mampu memahami isi pikiranku." Kau tersenyum sinis, kemudian berbalik setelah kau dengar bunyi dentingan dari ponselmu yang tergeletak pasrah di atas karpet. Bersimpuh, kau tarikan jemarimu di atas layar dan kembali tersenyum sinis ―yang bahkan bisa kurasakan walau kau membelakangiku.

"Mau apa gadis ini ke sini? Emily, Emily... kukira kau berbeda." Kau biarkan pesan itu begitu saja, tak berbalas. Kau hempaskan lagi badanmu ke sofa, menikmati lagi asap demi asap. Menghisapnya dalam-dalam agar kau dapatkan jumlah besar relaksan yang dalam tujuh detik masuk mencampuri darahmu ke paru-paru, berpacu ke otak dan segera merangsang pelepasan neurotransmiter serta meningkatkan aktivitas serotonin yang berdampak pada efek sedatif ringan. Kau tutup mata rapat di antara kepulan pekat.

Masih tak mengerti dengan masalah yang membebani pikirmu.

"Gadis-gadis itu..." seolah kau mampu membacaku, "... hanya mengejar kelelakianku saja. Membosankan. Tak adakah wanita yang benar-benar ingin berbagi perasaan denganku? Bukan hanya berbagi materi dan nafsu." Kau benamkan rokok yang sudah terbakar separuh keras-keras ke dalam asbak di bawah tempatmu duduk. Seringaimu menunjukkan amarah. Kemudian kau lempar punggungmu ke sandaran. Menatap langit-langit, lagi.

Kali ini, dapat kulihat pantulan cahaya di matamu yang berkaca-kaca. Namun tak kulihat air mata. Hanya sebuah senyum yang kaupaksakan ikhlas. Seperti senyum yang kauberikan di pagi hari kepada gadis-gadis yang kau ajak bermalam di apartemen ini.

Tak akan pernah mampu memahami jiwamu yang langka itu, walau aku mengetahui rahasia terdalammu. Tak akan sanggup menyelami kedalaman pikiranmu, walau aku mengawasi setiap milidetik lakumu. Tak dapat kubayangkan para penggemarmu, gadis-gadis pencintamu, seandainya mereka tahu lelaki pujaannya merasa begini tersiksa di saat hatinya hampa, hahaha... bahkan mereka tak pernah tahu kau bisa merasakannya juga. Mungkin, mereka malah tak mau peduli. Hanya aku di sini. Tapi yang kau butuhkan hanyalah harapan : bertemu seseorang yang dapat mengisi kekosongan itu. Suatu hari nanti, entah siapa...
Bukankah begitu?

Lelah kau menengadah, kau pejamkan mata sejenak, membiarkan tetes air mata membuncah mengaliri wajah sebelum meraih pemutar musik di sisi sofa.

"When I was a child everybody smiled, nobody knows me at all
Very late at night and in the morning light, nobody knows me at all
Now I got lots of friends, yes, but then again,
 

nobody knows me at all"

Berbaring kau, meringkuk membelakangiku. Membiarkan wajahmu terbenam dalam bantal-bantal kecil hingga kudengar deru nafas lembut teraturmu. Selamat tidur.

Catatan penulis :
Seperti biasa, kejadian setengah jam pun bisa kugambarkan dalam 4.400an karakter, 750an kata. Mungkin aku memang terlalu berlebihan. Hahaha~
Ngomong-ngomong, coba tebak ini siapa :3
Sampai ketemu di 3 karakter selanjutnya. (^o^)
Template developed by Confluent Forms LLC